Catatan Perjalanan :

Dari New Orleans Ke Kendal

 

11.   Jika Check-In Di Cengkareng Pada Saat-saat Terakhir

 

Saya merasa bersyukur karena akhirnya tiba di Jakarta masih cukup pagi, sekitar jam 09:30 WIB, Selasa, 15 Pebruari 2000. Ini berarti, kekhawatiran saya akan kemalaman di Jakarta, hingga perlu meng-email juragan milisi Upnvy pada Sabtu malam sebelumnya, tidak terjadi. Keluar dari Terminal E Cengkareng, langsung berjalan terburu-buru menuju Terminal F, setelah melalui pemeriksaan imigrasi tentunya.

 

Beberapa tawaran taksi liar saya jawab dengan kata-kata : “mboten” (tidak), dengan senyum kemenangan. Saya tidak perduli apakah mereka ngerti bahasa Jawa atau tidak. Eh, lha kok malah kemudian ada sopir taksi yang nyahut : “Monggo, kalih kulo mawon, Pak” (Mari sama saya saja, Pak). Ya tetap “mboten” jawaban saya.

 

Tiba di terminal F, saya langsung cari tiket penerbangan tercepat menuju Semarang. “Sudah full booked”, kata gadis di balik kaca loket penjualan tiket. “Cadangan”, jawab saya singkat. Dalam hati saya berkata, jika perlu akan saya mainkan lagi lakon emergency untuk kesekian kalinya.

 

Penumpang cadangan biasanya baru akan dilayani 30 menit menjelang jam keberangkatan pesawat. Saya tahu itu, tapi saya tidak ingin kehilangan momentum. Saya tongkrongin di depan counter cadangan (biasanya kalau tidak meja no. 24, ya no. 25, saya hapal karena saking seringnya menjadi penumpang cadangan Garuda atau Merpati, sekian tahun yang lalu).

 

Ternyata saya tidak perlu menunggu hingga 30 menit menjelang jam keberangkatan, saya sudah dipanggil oleh petugas tiket cadangan. Entah karena memang ada kursi kosong, atau barangkali mbak petugasnya risih karena saya tongkrongin di depan mejanya sambil bolak-balik pura-pura tanya tentang status seat saya.

 

Saat check-in itu, saya tanyakan bagaimana mengenai barang bawaan saya, apakah tidak terlambat kalau tas saya dibagasikan. Dengan sangat meyakinkan saya dipersilahkan untuk membagasikannya. Terus terang, sebenarnya dalam hati saya ragu-ragu dengan jawabannya. Apakah tidak sebaiknya saya tenteng ke dalam kabin saja, pikir saya. Tapi sudahlah, toh pengalaman di Tokyo dan di Singapura sebelumnya tidak ada masalah. Maka saya pun kemudian dapat terbang ke Semarang dengan penerbangan pertama Garuda.

 

Sekitar jam 11 pagi, saya sudah menginjakkan kaki di bandara Ahmad Yani Semarang. Selangkah lagi saya akan tiba di kampung saya di Kendal. Saya menunggu untuk ambil bagasi. Satu-satu penumpang mulai keluar bandara sambil membawa bagasinya masing-masing. Hingga orang terakhir pergi, lha tas saya mannnnnaaa……? Saya datangi petugas yang ngurus bagasi, lalu dihalo-halo dengan handy-talky-nya ke pesawat. Ya memang bagasi sudah habis.

 

Ternyata rasa khawatir saya terhadap jawaban petugas check-in Garuda saat di Cengkareng sebenarnya beralasan. Ironisnya, entah kenapa justru terhadap ucapan bangsa saya sendiri saya merasa tidak yakin. Pertanyaan ini sulit saya jawab. Faktanya memang demikian.

 

Apa mau dikata, saya terima selembar kertas sebagai tanda bukti bahwa bagasi saya belum saya terima. Dijanjikan bagasi tersebut akan dibawa oleh penerbangan Garuna sore harinya, karena memang masih tertinggal (atau ditinggal?) di Jakarta. Masih ada tapinya, kalau tidak ya dengan pesawat Garuda esoknya, dan saya diminta untuk cek-cek via tilpun ke bandara Semarang. Wah, “puuuancen” (memang)……

 

Perjalanan menuju Kendal sekitar 45 menit saya lanjutkan dengan taksi. Baru esok harinya terpaksa saya mampir lagi ke bandara Ahmad Yani Semarang untuk mengambil bagasi saya. Masih untung, tas saya utuh tidak tampak ada tanda-tanda bekas dijahilin.- (Bersambung).

 

 

Yusuf Iskandar

 

[Sebelumnya][Kembali][Berikutnya]